kali ini saya mau bahas mengenai suatu topik yang baru aja selesai saya baca pembahasannya, yaitu mengenai psikologis anak dan gimana implementasinya dikeseharian saya dalam membersamai anak-anak, cekidot.
Nah, ceritanya nih anak saya sering meminta saya membacakan buku yang sama berulang kali. Dan juga suka bongkar-bongkar rak atau lemari yang isinya baju-bajunya atau jilbab-jilbab saya yang memang letaknya itu terjangkau oleh anak saya.
Oiya, FYI, pembahasan berikut adalah untuk anak seumuran anak bungsu saya ya, yaitu 2 – 3 tahun.
Nah, ceritanya nih anak saya sering meminta saya membacakan buku yang sama berulang kali. Dan juga suka bongkar-bongkar rak atau lemari yang isinya baju-bajunya atau jilbab-jilbab saya yang memang letaknya itu terjangkau oleh anak saya.
Dulu saya pasti ngomel-ngomel (eh sekarang masih
juga sih hihi). Tapi saya lumayan memahami kenapa anak-anak seperti itu. Dari pencarian saya mengenai materi yang berhubungan dengan tingkah laku anak, berikut adalah hal-hal yang bisa saya bagi dengan para orang tua khususnya, dan para pembaca umumnya mengenai psikologis anak.
- Pertama, Minta Dibacain Buku yang sama berulang-ulang.
Dan film kartun ‘PORORO, THE LITTLE PINGUIN’ hadiah
dari susu formula yang biasa diminum anak saya ketika itu, yang juga diputer
berulang-ulang ketika si sulung berumur 2 – 3 tahun.
Begitu ia menemukan buku, video, atau mainan
favoritnya, ia tidak akan berhenti dan tidak akan pernah bosan untuk
memainkannya berulang-ulang. Meskipun ia sudah memutar film yang sama berulang kali, atau sudah hafal
semua adegan dan percakapan si tokoh dalam film kartun, setiap kali ia membaca
buku favoritnya atau menonton video favoritnya, ternyata ia tetap akan merasakan hal
baru.
Meskipun konteks video dan buku tidak berubah,
tetapi ternyata cara berfikir anak akan
terus berubah-ubah. Malah ekspektasi anak terhadap adegan apa yang akan
terjadi selanjutnya akan membuatnya lebih kegirangan.
Dengan membaca secara berulang, ia akan memikirkan “hmm sebentar lagi adegan ini akan muncul…” dan ketika adegan tersebut benar-benar muncul, anak akan merasa puas terhadap ekspektasi yang mereka buat sendiri. Dan tentu saja merasakan pemenuhan diri.
Dengan membaca secara berulang, ia akan memikirkan “hmm sebentar lagi adegan ini akan muncul…” dan ketika adegan tersebut benar-benar muncul, anak akan merasa puas terhadap ekspektasi yang mereka buat sendiri. Dan tentu saja merasakan pemenuhan diri.
Jadi ternyata, kurang bijak kalau saya merasa
malas atau enggan membacakan buku kesukaan anak berulang kali. Walapun dalam
hati sering saya berfikir “kok buku ini lagi sih”, tetapi bagi anak, buku tersebut
adalah buku yang baru.
Jadi, merupakan suatu hal yang sangat baik kalau kita tetap membacakan buku kesukaannya tanpa mengurangi antusiasme kita.
Jadi, merupakan suatu hal yang sangat baik kalau kita tetap membacakan buku kesukaannya tanpa mengurangi antusiasme kita.
- Kedua, “jangan bongkar-bongkar lagi ya nak”
Nah ternyata, jika anak memperlihatkan sinyal
bahwa ia ingin melakukan sesuatu bersama ibunya, asal masih dalam batas
kewajaran dan tidak berbahaya, sebisa mungkin kita membantu dan mendampingi.
Saya
malah membelikan setrikaan mainan untuk anak laki-laki saya yang sulung, dan ketika saya
menyetrika, dia pun berdiri di samping saya pura-pura menyetrika juga.
Saya
juga membiarkannya bermain dengan peralatan dapur saya, yang bahan plastik ya atau yang bahannya tidak mudah pecah,
karena kalau yang mudah pecah, selain mamak rugi, nanti anak juga bisa terluka. Solusi efektif terhadap keinginan belajar anak.
- Ketiga, “kenapa manjat-manjat terus sih bang?”
Bagi anak, pemandangan itu betul-betul
menakjubkan. Dan saya? Selalu teriak “ayo turun, nanti jatuh!”.
Buat mereka, anak-anak, peringatan saya gak
sebanding dengan pemandangan baru. Bahkan si sulung yang sudah lebih besar,
masih suka memanjat ke sana ke mari.
Tau gak, ternyata hiingga usia 4 -5 tahun pun, anak masih
belum mengenal apa yang namanya bahaya.
Dan saya hanya bisa melapisi lantai dengan matras, atau mengamankan sudut-sudut meja dengan menggeser meja ke tempat yang aman selama mereka bermain.
Dan saya hanya bisa melapisi lantai dengan matras, atau mengamankan sudut-sudut meja dengan menggeser meja ke tempat yang aman selama mereka bermain.
- Keempat, “mama ayo beli baju kapten amerika lagi”
Ada dua alasan utama dibalik perilaku tersebut. Alasan
pertama adalah “temperamen bawaan anak laki-laki”. Dibandingkan baju lain,
gambar pahlawan super memang terlihat paling hebat.
Tetapi di sisi lain, masyarakat
tanpa sadar menanamkan persepsi pahlawan super adalah untuk anak laki-laki. Entah
itu pakaian, mainan, alat tulis, kebanyakan dibuat bergambar pahlawan super
untuk anak laki-laki, sementara anak perempuan identik dengan gambar princess.
Konteks
yang sama terjadi pada mainan anak juga. Anak perempuan ‘normal’ jika bermain
dengan boneka Barbie, sementara anak laki-laki harus bermain robot-robotan. Tetapi
sebetulnya, tidak ada aturan yang demikian bukan? Jika anak laki-laki saya minta
dipakaikan baju berwarna pink misalnya, atau anak perempuan anda minta
dibelikan robot-robotan, apa ada yang salah?
Menggambarkan persepsi gender yang salah kepada
anak, bisa berdampak negative terhadap tumbuh kembang anak yang sehat.
Ucapan seperti “kok abang milih baju warna pink? Anak
laki-laki itu harus pakai warna biru” akan membuat anak berfikir “hm, rupanya
aku sudah berbuat salah”, tetapi ia tidak tahu dimana letak kesalahannya.
Oleh karena itu, hargailah pemikiran anak, tanggapi pendapatnya tanpa dibumbui dengan persepsi yang kurang bijak.
Oleh karena itu, hargailah pemikiran anak, tanggapi pendapatnya tanpa dibumbui dengan persepsi yang kurang bijak.
- Kelima, “itu mainan milik temanmu sayang”
Jika saya sebagainya ibunya berkata “ini bukan
punya kamu!” dan mengambilnya, ia hanya akan merasa kebingungan. Jadi saya menggantinya
dengan ucapan “truk ini punya kamu, tapi robot ini punya Robi”.
Dengan menjelaskan ‘aturan main’ dengan lembut,
anak secara berangsur akan memahami apa yang benar dan apa yang salah. Dan percayalah
ini hanya sebuah fase, dan akan berlalu.
- Keenam, pup dan pipisnya diliatin terus.
Persepsi bahwa itu adalah sesuatu yang kotor atau
menjijikkan belum muncul pada diri anak. Anak semata-mata menganggapnya sebagai
suatu pencapaian dan ‘kreasi’ dari tubuhnya. Setiap kali ia sukses buang air di
toilet, ia akan berpikir, “wah, aku berhasil juga!” dan merasa bangga pada
dirinya sendiri.
Ada anak yang menganggap bahwa kotoran merupakan
suatu bagian dari tubuhnya yang jatuh keluar, sehingga membuatnya penasaran dan
ingin mengamatinya. Bahkan ada anak yang sampai menangis ketika toilet di-flush,
karena ia menganggap ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
Reaksi kita
saat anak memperlihatkan minat terhadap pup/pipis, akan sangat berpengaruh pada
emosinya. Semasa toilet training, kita bisa menenangkan hati anak dengan
mengatakan, “kalau udahan kita dadah yuk sama pupnya-“, barulah siram toilet
anda.
Demikian pembahasan saya kali ini. Semoga bermanfaat
ya. Oh iya, sumber dari pembahasan saya kali ini adalah cacatan dari Chai’s
Play.
Februari 2019
Salam
Sumber: Chai's Play App
Informasi bermanfaat mak linrana.. tq.. ��
BalasHapusTerimakasih kembali mak zaid
HapusGood..
BalasHapuspantesan aja kalo saya menyela di kartun yang selalu diputar "mmengatakan apa yang akan dikatakan oleh tokoh kartun" anak2 akan marah.
trus bilang, "ssssst, mama diam. "
Rupanya dia sedang ingin menyamakan hasil rekaman di otaknya dengan tontonan.
mirip ujian ya..
hehehe
awak pun ikut hapal ya... dari mulai lagu pembukaan, dialog, sampe lagu penutup. kwkwkwkw
HapusGood..
BalasHapuspantesan aja kalo saya menyela di kartun yang selalu diputar "mmengatakan apa yang akan dikatakan oleh tokoh kartun" anak2 akan marah.
trus bilang, "ssssst, mama diam. "
Rupanya dia sedang ingin menyamakan hasil rekaman di otaknya dengan tontonan.
mirip ujian ya..
hehehe
Tos mbak...dulu saya juga ngalami dejavu bacain buku judul yang sama setiap hari berkali-kali sampek bukunya lecek. Kadang sampek gemes dalam hati,kapanla buku2 lain yang udah dibeliin ini dapat giliran dibaca. Ternyata ada masa2 nya ya mbak...nice share. Tq mbak...
BalasHapusAku punya dua anak beda tipe. si auni yang maunya membaca buku baru terus dan si rais buku yang dia sukai itu2 aja. xixixi.. setiap anak itu spesial ya mak 😊
BalasHapusArtikelnya bagus, ternyata kita orang tua perlu menyelami atau mensejajarkan cara berpikir kita dengan cara berpikiara mereka ya, sehingga kita gak salah paham atau terburu-buru melabeli anak kita sebagai anak yang susah diatur/ nakal ya
BalasHapusPengalaman ku sama. Anak2 itu waktu sepupu paling kecil ku asuh sampe kls 3 SD ini. Kadang terlalu kepintaran juga ga baik ternyata. Its mean KEbijakAN.
BalasHapusPup dan Pipis yang dilihati oleh orangtua merupakan hal aku ingat waktu kecil. Emang sih rasanya senang kali kalau dilihati. Apalagi waktu kecil itu ada rasa takut. Hehehe
BalasHapusPup dan Pipis yang dilihati oleh orangtua merupakan hal aku ingat waktu kecil. Emang sih rasanya senang kali kalau dilihati. Apalagi waktu kecil itu ada rasa takut. Hehehe
BalasHapus