Terinspirasi dari cerita mba Dyah di www.roemahaura.com mengenai ke”nomaden’an
beliau dan keluarga. Saya yang lagi kehabisan ide ini yang ndak tau mau nulis
apa tapi pengen nulis juga, saya akan cerita-cerita mengenai ke’nomaden’an
saya. Hanya saja bedanya, mba Dyah ber’nomaden’ ria setelah menikah, nah saya
banyak nomaden itu karena mengikuti petualangan orangtua saya yang hidupnya
berpindah-pindah karena tugas negara hehehehe…
Ketika baru menikah, ibu saya ikut ayah saya untuk
tinggal di tempat Beliau berdinas yaitu di Simeuleu, suatu pulau kecil di
daerah Aceh Barat (kalu ndak salah sih masuk Aceh Barat, cmiiw). Saya sendiri
lahir di Medan, dan kemudian diboyong juga ke pulau itu. Pulau kecil yang waktu
itu mobil hanya ada satu, yaitu mobil pick up. Dan kapal-kapal dagang asing
masih sering singgah di sana. Sehingga, penduduk setempat walaupun terasing,
tapi punya barang-barang import. Saya dan adik perempuan saya beserta orangtua,
kami menghabiskan masa batita di pulau ini.
Lalu ayah saya dipindahtugaskan lagi ke Lubuk Basung,
Sumatera Barat. Ketika itu umur saya sekitaran empat tahun. Saya sempat
bersekolah TK di daerah ini. Ini kali pertama saya melihat bendi alias delman
beserta kudanya (saya anak pulau kan?)
Rumah tempat kami tinggal adalah rumah tinggi. Bekas rumah
demang. Konon kabarnya jika seorang ibu melahirkan bayinya di rumah itu, maka
yang akan lahir adalah anak laki-laki. Wallalhu a’lam, adik ketiga saya lahir
di rumah itu, dan beliau laki-laki.
Rumahnya punya halaman yang luas, ayah saya membuat kolam
ikan di samping rumah, dan juga beternak ayam. Di belakang rumah ada hutan
kecil dan ada sungai kecil yang airnya jernih sekali. Parit depan rumah agak
lebih besar daripada sungai di belakang, dan berair jernih juga. Ibu saya
selalu melarang saya untuk bermain-main di parit atau pun di sungai. Tapi saya
sering ikut teman dan diam-diam main parit dan di sungai.
Sepulang sekolah, saya juga bersama kawan-kawan pergi
nangkap capung di halaman samping rumah, ada ilalang kecil di sekitar situ. Capung
warna warni, ada hijau, biru, merah, kuning.
Ada pohon rambutan juga di depan rumah. Kalau ada saudara
yang datang, sering diminta untuk panjat pohon dan ambil buah rambutannya.
Di siang hari, kami sering duduk di tembok pagar rumah, ngeliatin anak-anak SMA yang pulang sekolah. Entah kenapa itu hiburan buat kami anak-anak kecil, liatin uni-uni dan uda-uda SMA pulang sekolah.
Lalu seingat saya, kami juga pernah tinggal di Bukittinggi,
di daerah Birugo. Tapi hanya sebentar tidak sampai setahun.
Kemudian kami pindah lagi ke Medan, karena ayah saya sekolah
lagi untuk ambil Spesialisasinya di USU. Inilah pertama kalinya saya berdomisili
di Medan. Kami asli orang Medan. TK sampai SMP kelas 1 saya di Medan. Saya TK
di TK TuGaMa atau Tunas Gajah Mada di Jl Durian. SD di SD Medan Dua di Madong
Lubis. SMP di SMP 11 (sekarang gak tau jadi SMP berapa) duh nama jalannya lupa.
Kami dulu tinggal di jl serdang gang kitab. (kalau ada yang sealmamater
ma saya ngacung….)
Naik kelas 2 SMP kami sekeluarga pindah lagi. Karena Spesialisasi
ayah saya sudah selesai, beliau pun ditempatkan di Muara Bungo, salah satu kota
kabupaten di Provinsi Jambi. Dan saya masuk SMP 1 Muara Bungo kelas dua dan
tiga. Ada pengalaman menarik ketika jadi anak baru. Kepala sekolah salah
memasukkan saya, seharusnya saya masuk ke kelas 2, tapi beliau mengantarkan
saya ke kelas 3. Dan sempat belajar hingga jam 10 (sekolah pulang jam 1). Gegara
itu, saya jadi rada dikenal seantero sekolah hehehehe.
Ada rumor ketika saya akan tamat SMP, bahwa ayah saya akan
dipindahkan ke Bukittinggi lagi. Maka karena itu sudah masuk semester baru,
saya dimasukkan dulu ke SMA di kota ini. Dengan maksud dan tujuan, agar tidak
repot ketika mengurus kepindahan karena peralihan sekolah saya dari SMP ke SMA.
Saya masuk ke SMA 2 Bukittinggi. Tapi ternyata memang hanya rumor saja. Dan saya
sudah terlanjur sekolah di Bukittinggi. Ya takpapalah… saya sudah suka sama
sekolah, teman-teman dan lingkungannya. Lanjut lah saya menamatkan SMA di kota
nan sejuk dan islami tersebut. Saya ngekos di dekat sekolah.
Setamat dari SMA, saya ke Jakarta. Ikut bimbel untuk
persiapan UMPTN, lebih kurang satu setengah bulan. Ikatan alumni SMA saya ada
di Bandung, maka ketika pengambilan ijazah, saya pergi ke Bandung.
UMPTN saya gak lulus satupun. Lalu saya ikut beberapa ujian
masuk perguruan tinggi swasta maupun semi swasta di Jakarta dan Bandung. Dan saya
lulus di Politeknik ITB (sekarang namanya Polban; Politeknik Negeri Bandung). Jurusan
administrasi niaga, bidang studi kesekretariatan dan perkantoran. Angkatan saya
yang terakhir menggunakan nama Politeknik ITB, tahun berikutnya sudah
menggunakan nama PolBan. Karena poltek itu DIII, saya pun melanjutkan ke S1 ke
Universitas Padjadjaran untuk jurusan yang sama; administrasi niaga, masuk ke
fakultas ISIP (sospol).
Setelah lulus S1, saya pulang ke Muara Bungo. Ketika itu
ayah saya persiapan pensiun, dan juga mulai sakit. Lalu keluarga kami
memutuskan setelah pension kami pindah lagi ke Medan. dan beberapa tahun tinggal ke Medan, ayah saya
pun dipanggil yang Maha Kuasa.
Saya bekerja di beberapa perusahaan besar dan kecil di Medan.
Dari mulai Stop Wash Laundry, Crown Laundry, Hotel Emerald Garden, hingga
kemudian saya diterima di salah satu NGO di Banda Aceh yang banyak berdatangan
pasca tsunami ketika itu.
Saya bekerja di Banda Aceh sekitar 2 tahun. Dan bertemu
dengan bapaknya anak-anak pun ketika saya bekerja di sini. Ketika NGO saya mengakhiri masa kerja mereka di Banda Aceh, saya pun pulang ke Medan dan menikah.
Waktu itu pak su masih bekerja di Banda Aceh, sehingga saya pun ikut lagi ke
Banda sekitar setahun gitu, sebelum stay di Medan lagi hingga sekarang, sudah
punya anak tiga.
Pasca melahirkan anak pertama saya yang meninggal, saya beberapa kali ikut pak su bekerja di berbagai kota, Gak lama-lama sih, sekitar 1,5 bulan untuk setiap kota. Saya jadi mengunjungi Kota Jogja untuk waktu yang lumayan lama.
Demikian kikira rincian perjalanan nomaden saya. Cukup panjang
juga ya, padahal diceritain sesingkat-singkatnya. Sembilan ratus kata juga
ternyata hehehehe…
Terimakasih ya sudah membaca tulisan saya. Jangan kapok lho
baca tulisan yang lain.
Salam….
Wahhh hampir sama dengan saya, kalau misal orang tua pindah tugas terpaksa ikut jugaaa :(
BalasHapusHehe.. Tp buat saya itu menyenangkan.. Artinya petualangan baru dan teman2 baru...
HapusBanyak pindah kota insyaallah jadi punya banyak saudara, banyak teman, banyak pengalaman. Ya khaann Mbak Vivi aka Linrana Mom... hehe
BalasHapusNomaden itu seru, Hehehe, kebalikan ni kk waktu kecil kami gak pernah kemana-mana. Sekarang setelah menikah kami berkelana
BalasHapusSeru sekali ceritanya, Mbak Vivi.
BalasHapusSering pndah temat tinggal itu, sebenarnya menurut saya asyik dan seru. Jadi bisa mengenal banyak daerah, dan nambah teman. Tapi itu tidka berlaku bagi Bapak saya. Beliau tidak mau sekolah naik pangkat, karena alasannya nanti dipindah-pindah tugaskan dan kasihan anak-anaknya pindah-pindah sekolah hahaha.
Makanya sejak lahir sampai besar, sampai Bapak saya pensiun, saya sekeluarga tetap di Makassar. Tapi Bapak saya beberapa kali tugas di luar Makassar. Resikonya Bapak saya tinggal jauh dan hanya pulang seminggu sekali hahaha.
Aku gak pernah nomaden kak, hahaha pernah nya ngekost di lhokseumawe sebelum menikah. Pengen juga rasanya pindah ke luar kota medan, tapi Kayaknya suami sudah betah di sini,
BalasHapusSeruuuu!!
BalasHapusAku malah domisili surabaya mulu mba, dari lahir :D
Pengin merantau sih, tapi bingung mau pindah ke mana hahahahahahha
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Pindah ke medan mba ☺
HapusAsik ya jadi punya banyak kawan dan banyak cerita di banyak tempat
BalasHapusEnaknya hidup nomaden itu jadi banyak saudara dan teman
BalasHapusSeru bangets mbak..pasti banyak pengalamannya yaa
BalasHapusAku ikut suami jadi pindah-pindah
Dan..itu bikin kita jadi punya pemikiran lebih luas dan terbuka yaa...
Asyik ya, hidup nomaden, hehehe. Cuma kalau saya disuruh milih, saya lebih pilih hidup tetap, soalnya ngerasain banget capeknya hehe
BalasHapusSama euy, aku juga waktu kecil ikut Bapak pindah2 dinas. Kami bersaudara bertiga pun kota kelahirannya beda2. Waktu kecil mah seneng2 aja, paling sedih aja harus pisah lagi sm kawan main. Klo skrg sdh dewasa, ngerti betapa pindahan itu capek bgt hehe
BalasHapusBahagia sekali, Mbak, hdp nomaden begitu. Pastilah banyak ilmu dan pengetahuan baru, selain kenangan yang sangat banyak. Bahagia sekali rasanya. Lupakan repotnya, syukuri bagaimana Allah mengizinkanmu menjejak sedemikian banyak bumi Allah.
BalasHapusSeneng ya kalau nomaden gitu jadi banyak pengalaman, dan bertemu orang orang baru. Jadi banyak yang dapat dikenang :)
BalasHapusDirimu kayak suamiku mbak, bapak ibunya PNS dan sejak kecil udah pindah2. Kalau aku sejak lahir procot sampai kerja-kuliah ya di satu kota aja hahaa. Baru pindah pas udah nikah. Nah, ini makanya aku gak keberatan kalau merantau lagi, kalau bisa lbh jauh lagi. Kyknya kok seru punya pengetahuan ttg banyak tempat apalagi kalau sempat belajar bahasa dan budaya di tempat tinggal kita.
BalasHapuskalau cerita tentang perjalanan atau pengalaman hidup memang tidak ada habisnya kak. Ribuan kata rasanya akan kurang.
BalasHapusPetualangan keluarga yang nomaden ini memang ada plus minusnya. Kalau aku sih justru jadi anak rumahan. Jadi, tak pernah mengalami hal serupa..
No Madden itu seru kl menurut AQ, meninggalkan jejak dan teman d setiap destinasi. Bnyk plus dan minnus nya sih, tp seru deh ...
BalasHapusPastinya sering berpindah-pindah akan banyak cerita seru, tapi kalau dirasakan sendiri agak menjadi sebuah tantangan ya akan bertemu orang baru lagi
BalasHapusAsyik banget nih bisa piknik bareng keluarga dan berpindah pindah. Semoga besok kalo udah berkeluarga bisa piknik nomaden kayak gini.
BalasHapus